Rabu, 27 Mei 2009

Resistensi


Setiap manusia pada dasarnya mempunyai naluri yang sama dalam hal "penerimaan" terhadap hal-hal baru yang datang padanya. Baik berupa pemikiran, ilmu, pandangan, maupun keberadaan sosok manusia yang lain.

Mungkin reaksi bagi kebayakan orang adalah resisten atau defend... apalagi jika keberadaan hal baru tersebut ditakutkan bisa mengganggu eksistensinya di lingkungan tersebut. Padahal hal baru gak sepenuhnya berarti negatif kalo kita bisa memfilternya tanpa harus bersikap skeptis dan apriori duluan. Memang bisa jadi manusia dilengkapi dengan 50% kesombongan, dan nilai itu pun bisa makin bertambah jika seseorang tersebut "merasa" lebih pintar atau berkuasa.

Kalo diperhatikan sampai dengan saat ini, misalkan di lingkungan terdekat yang biasa kita hidup, hal seperti itu benar terjadi. Dari berbagai kesempatan shourtcourse maupun diskusi-diskusi yang saya ikuti, makin memudahkan saya untuk mengkerucutkan pemikiran tentang kadar resistensi atau taraf penerimaan seseorang atas sesuatu.

Kadar resistensi seseorang dibagi menjadi berikut :

1. Rapuh
---> yaitu tingkatan penerimaan sesorang atas hal baru yang sangat tinggi. Semua hal baru termasuk pemikiran, ilmu, ideologi, maupun budaya bisa masuk begitu saja dengan mudahnya membaur dengan kondisi yang sudah ada (existing condition). Bahkan terkesan apapun itu di telan mentah-mentah. Hal ini bisa jadi disebabkan karena dia merasa tidak cukup ilmu/pengetahuan atau emang karena dia cenderung given dan kurang kreatif. Pribadi seperti ini cenderung lemah dan mudah terombang-ambing oleh keadaan dan kepentingan. Meskipun di satu sisi yang lain bisa juga dibilang sangat supel dan open minded. Golongan seperti ini kalo di ibaratkan seperti "GELAS KOSONG". Gelas yang bener-bener kosong yang siap disi dengan apapun baik kopi, air putih, minuman keras, bahkan racun sekalipun.

2. Filter
---> yaitu tingkatan penerimaan atas hal baru yang bersifat optional. Semua hal baru diterima dulu, didengar, diperhatikan tetapi tidak semuanya langsung dipakai. Pribadi seperti ini biasanya sudah mampu menyaring penetrasi macam apa yang bermanfaat dan hal baru yang seperti apa yang harus ditolak dari lingkungannya. Pribadi di tingkat ini adalah orang yang berilmu dan kreatif yang masih mau menjadi pendengar yang baik dan mampu menyingkirkan kesombongan terlepas dari pengetahuannya. Golongan ini diibaratkan "GELAS SARING" yaitu gelas dengan penyaring yang ada di atasnya. Jadi tidak semua bahan minuman bisa dimasukkan ke dalam gelas ini karena harus disaring dulu mana yang layak ditampung dan mana yang harus dibuang.

3. Resisten
---> yaitu tingkatan penerimaan atas hal baru yang paling keras, dimana cenderung membentengi diri menolak atas semua penetrasi hal baru baik sebenarnya bermanfaat atau tidak. Bersifat kaku dan arogan atas "keilmuan dan keberadaannya". Mereka menganggap hal baru tidak lah lebih baik dari kondisi yang ada sekarang. Pribadi di tingkat ini terbagi menjadi 3 golongan, yaitu :
a. Orang berilmu tetapi sombong. Mereka menganggap apa-apa yang disampaikan kepadanya justru dianggap menggurui atau meragukan keilmuannya. Mereka bersifat keras, bahkan cenderung menyerang (againts) terhadap pemikiran baru tersebut. Mereka tidak mau mendengar dan bersikap skeptis dan apriori.
b. Orang bodoh dan sombong. Mereka hanyalah orang-orang yang berkeras hati dan kepala melawan pemikiran ataupun hal baru tanpa mengetahui manfaat ataupun bahaya yang ditimbulkan. Mereka melakukannya hanya karena keangkuhan dan tidak mau kelihatan lemah dan bodoh. Padahal dengan sikap resisten seperti ini justru menunjukkan taraf kapabilitasnya tanpa mereka sadari.
c. Orang status quo. yaitu mereka yang merasa diuntungkan dengan keadaan yang ada sekarang dan berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankannya. Mereka merasa terancam keberadaan maupun kepentingannya jika suatu pemikiran atau hal baru tersebut berhasil masuk dan diterapkan.
Tingkatan ini kalo diibaratkan seperti "GELAS TERTUTUP". Jadi sama sekali tidak bisa menampung bahan minuman dari luar, karena selalu ditolak dengan keberadaan tutup tersebut, dimana tutup gelas tersebut adalah kesombongan maupun kepentingan.

Ternyata tak selamanya menjadi gelas kosong itu baik, begitupula dengan menutup gelas. Bagaimana dengan kita?

Rabu, 20 Mei 2009

Tipe Pegawai Seperti Apakah Anda?


Tipe pegawai seperti apakah anda?

Saya tergoda untuk menulis ini setelah selesai mengikuti shortcourse tentang "Remuneration Management" yang berlangsung kemarin tgl 18-20 Mei dan diampu langsung oleh ahlinya Mr. Asfar Arief, MBA. Meskipun cuma 2 hari tapi padet bener materinya... dan diharapkan bisa menguasai minimal mengerti seluk beluk tentang remunerasi terkait imbalan atas kinerja atau istilah bekennya pay for performance :D

Yang pada intinya adalah mengukur setiap detil pekerjaan dan pencapaian kinerja dibandingkan dengan reward yang sepantasnya diberikan atas usaha tersebut. Ada berbagai macam teori dan methode yang disampaikan dan banyak digunakan oleh perusahaan berlevel multinasional mulai dari Watson wyatt, FES, CRG, HAY, dst.

Tapi dari sekian banyak penjelasan dan paparan, justru saya tergelitik tentang kriteria pegawai yang disampaikan oleh pak Asfar. Beliau menyampaikan bahwa sebenarnya hanya terdapat tiga tipe pegawai di perusahaan/tempat pemberi kerja yang ada selama ini, yaitu :

1. STAR
---> Tipe pegawai "bintang" maksudnya adalah golongan pegawai ini merupakan asset perusahaan/kantor. Merupakan benchmarking dari perusahaan tersebut, jaminan akan dikenal dan bonafidenya citra perusahaan dimana saja mereka berada.
Pegawai golongan ini bakal dipertahankan oleh perusahaan secara mati-matian, maka wajar jika posisi tawar merka sangat tinggi dengan digaji yan sangat menonjol dibandingkan pegawai yang lain. Perusahaan mencoba memproteksi mereka sekuat mungkin dengan memberikan fasilitas yang dibutuhkan, supaya mereka tidak direbut oleh perusahaan kompetitor yang lain.
Mengingat bergaining power mereka yang cukup tinggi, biasanya mereka seperti "kutu loncat" yang mudah berpindah dari satu perusahaan ke yang lain dimana memberikan penawaran yang terbaik untuk mereka.

2. BACKBONE
---> Tipe "tulang punggung perusahaan" maksudnya adalah golongan pegawai dimana mereka hidup dan mati demi kelangsungan perusahaan, memiliki loyalitas yang sangat tinggi, dan sangat produktif. Mereka lebih mengutamakan pengabdian dan rasa memiliki kepada perusahaan. Mereka bahakan siap menerima pemotongan gaji jika perusahaan merugi dan sebaliknya, yaitu berhak menyandang bonus lebih jika perusahaan meraup keuntungan. Pekerja seperti ini lebih terkesan seperti robot yang tanpa lelah dan tiada henti untuk terus produktif.Hidup dan matinya perusahaan adalah di tangan golongan pegawai seperti ini. Etos mereka sangat tinggi, tetapi kualitas mereka hanyalah untuk di dalam perusahaan. Mereka kurang memiliki bergaining power terhadap perusahaan yang lain. Meskipun tetap saja dimungkinkan mereka dilirik oleh perusahaan kompetitor yang lain, yang mengetahui kualitas kerja mereka.

3. DEADWOOD
---> Tipe "kayu mati" maksudnya adalah golongan para pegawai yang kata-kata sadisnya adalah "Numpang hidup pada perusahaan". Mereka sama sekali tidak produktif tapi keberadaannya dalam segi kuantitas ada dan mereka berhak atas gaji dari perusahaan. Mereka selayaknya benalu, yang hanya bekerja jika disuruh dan itupun hanya sekadar mengerjakan. Tidak memperhitungkan kualitas yang dihasilkan, boro-boro ikut merasa memiliki perusahaan. Saban hari yang mereka kerjakan hanyalah absen di pagi hari, selama jam kerja entah kualitas apa yang dihasilkan tidak terdeteksi, dan menghabiskan waktu untuk menunggu absen pulang di sore hari. Keberadaan mereka tidak memberikan hasil positif terhadap kualitas perusahaan, dalam artian ada atau tidaknya mereka, tidak mempengaruhi perusahaan. yang jadi masalah adalah, mereka pegawai perusahaan dan berhak atas gaji, sementara perusahaan tidak begitu mudah untuk memberhentikan mereka.

Nah, tipe pegawai seperti apakah kita? :D
Kita sebaiknya jujur terhadap diri sendiri dan selalu berusaha untuk menjadi lebih baik di setiap detil bagian peran dalam kehidupan ini.

Senin, 11 Mei 2009

Sayembara Tuhan


Ada yang bilang hidup adalah sandiwara, ada pula yang mengatakan hidup adalah perjuangan dan memperbaiki kesalahan. Banyak orang menganggap kehidupan hanyalah banyolan , sedangkan sangat lah jarang kita temukan banyolan yang bukan sekedar guyonan semata melainkan terkandung ajaran bagaimana memaknai kehidupan itu sendiri.

Dari pendekatan itu lah ada muncul keinginan untuk melontarkan sebuah joke sederhana yang sebenarnya kalau dihayati bakal terkuak kandungan makna mendalam.

Jadi begini ceritanya....

Once upon a time di akhirat, Tuhan menyelenggarakan sayembara kepada kedua kubu penghuni surga dan penghuni neraka. Sayembaranya adalah "Lomba proyek pembangunan jembatan yang menghubungkan antara surga dan neraka dalam kurun waktu 30 hari". Yang dianggap memenangkan sayembara adalah siapa dia antara dua kubu tersebut yang mampu menyelesaikan pembangunan jembatan yang lebih cepat.

Hari demi hari pun berlalu sampai akhirnya di luar dugaan pada hari ke 25 salah satu kubu telah berhasil menyelesaikan jembatannya, sedangkan kubu lain masih terpaku di angka penyelesaian jembatan yang tidak lebih dari 30%.

Walhasil, coba tebak sapa yang mampu memenangkan lomba tersebut? Apakah penghuni surga atau penghuni neraka kah yang memenangkannya?

Yup, anda benar... :) Penghuni neraka lah yang memenangkan proyek pembangunan jembatan tersebut. Apa sebab kok penghuni neraka bisa begitu mutlak dan cepat mengalahkan penghuni surga?

Fakta pun ditemukan :

* Ternyata di kubu penghuni neraka terdapat orang-orang penting dan sangat "professional di bidangnya" yaitu sebagai berikut :
1. Para pejabat tinggi yang biasa memberikan izin pendirian proyek, sehingga menjadikan proyek pembangunan jembatan tersebut cepat bisa dilaksanakan.
2. Para pengacara hebat, sehingga proyek tersebut mudah pengurusan maupun pertanggungjawaban secara legal.
3. Para kontraktor besar, yaitu para kontraktor besar yang biasa mainin tender dan ngurangin kualitas, sehingga jembatan itu bisa begitu cepat dibuat.
4. Para pimpinan proyek, bendahara, dan admin keuangan. Mereka terbiasa kongkalikong dengan kontraktor mengenai proyek dan memainkan administrasi pertanggungjawabannya.
5. Para "security kampungan" yang biasa mengamankan proyek melalui jatah "tips keamanan" sehingga proyek pembangunan jembatan tersebut aman dan lancar untuk dilaksanakan.

*Sedangkan apa yang terjadi dengan kubu surga? ternyata para penghuni surga hanyalah terdapat orang-orang biasa.
1. Di sana hanya terdapat guru ngaji yang kehidupannya ditopang dari berjualan gorengan keliling tanpa terpikirkan untuk menjadi insinyur teknik sipil.
2. Para penjaga musholla yang penghasilannya hanya dari menyemir sepatu yang tidak pernah belajar bagaimana membangun jembatan.
3. Para pegawai biasa yang hidupnya di dunia selalu pas2an, ditekan atasan, tidak diberi jabatan dan diasingkan karena tidak mau berbuat curang.
4. Para syuhada yang menjual nyawanya untuk membela kebenaran, bukan ditukar hanya dengan recehan rupiah.
5. Dan orang-orang biasa lainnya yang selalu besyukur atas semua yang ada padanya dan tak pernah lalai menjalankan perintahNya.

Astaghfirullah....mari kita renungkan dan mohon ampun atas kesalahan kita selama ini.
Gambaran apa yang bisa kita ambil? :)

Jumat, 08 Mei 2009

Sibuk Koalisi ( Bagi2 Kekuasaan)


Pemilu sudah terlaksana dengan aman (thats great point) meskipun masih jauh dari kesan JURDIL (baca : jujur dan adil). Masih terlalu banyak penyimpangan baik yang terlihat sistematis maupun hanya kebetulan semata dari carut-marutnya DPT dan so on. Okay then... kita melangkah ke lebih jauh deh. Sampai dengan hari ini tanggal 8 Mei, dan ini adalah hampir sebulan dari penyelenggaran pemilu 9 April kemaren, ternyata belum diperoleh hasil siapa pemenang definitif untuk pemilu legislatif. Padahal dalam janjinya, KPU ( kebetulan ditopang dengan dana IT yang fantastis dan bertempat sangat nyaman di Hotel Borobudur) bisa menyajikan hasil pemilu legislatif pas tepat sebulan setelah pemilu. Dan ternyata janji tinggal lah janji :p, bahkan akhirnya diputuskan untuk menghitung secara manual pula...Nah lucunya di hasil hitungan manual sementara yang menang adalah PDIP, bukan PD yang ditahbiskan sebagai pemenang pemilu legislatif hasil quick count maupun hasil hitungan elektronik sementara KPU.

Belum juga selesai hitung2an siapa pemenang pemilu oleh KPU, e...dodoe ternyata jajaran pengurus elit parpol malah sudah begitu sibuk itung2an koalisi (baca : bagi2 kavling kekuasaan). Suara rakyat yang "katanya" suara Tuhan begitu murah diperdagangkan selayaknya dagang sapi! Para elit begitu mudah berangkulan "menyama2kan platform" sementara grass root begitu kuat sikut2an dari sejak pemilu belum di gelar sekalipun.

Berapa banyak korban rakyat berjatuhan selama kampanye hanya karena membela banner?
Berapa banyak massa partai satu berantem dengan massa partai yang lain hanya untuk sekedar adu bendera partai?
Berapa banyak caci maki beterbaran, menjelek2kan parpol satu dengan lain telah terjadi hanya karena ingin partainya dianggap lebih baik dan layak menang?
Berapa banyak uang dan sembako yang tergelontorkan untuk meraup suara?

Tapi semua itu sia-sia, darah mereka tak berguna, dan suara mereka lenyap! Kenapa ?

Dengan mata kepala sendiri, kita bisa melihat bahwa yang mereka (baca : rakyat dan simpatisan) perjuangkan selama ini tidak dihargai oleh para elit pengurus partai yang dibelanya. Para elit parpol begitu mudah melupakan "pertarungan" yang terjadi di level akar rumput dan ditukarnya dengan bagi2 kekuasaan semu berkedok koalisi.
Sederhananya, "Sapa yang berjuang, eh malah sapa yang menikmati". Simpatisan dan rakyat disuruh berantem sementara elit politik bercanda dan berpelukan saling menukarkan suara dan amanat rakyat yang diembankan kepadanya. So tragic.... sangat lah ironik!

Harusnya para elit malu, mawas diri, bahwa mereka punya tanggungjawab mengemban amanah rakyat. Bukan malah menggunakannya sebagai modal memperebutkan kekuasaan semata! So pity, disgrace...

Kamis, 07 Mei 2009

Bisakah ?


Menangisi tanpa meratapi
Tersenyum tanpa menertawakan

Memberi tanpa mengharap menerima kembali
Menerima kekurangan dengan selalu bersyukur

Mencintai apa adanya bukan karena adanya
Menyayangi dengan tulus meskipun dia ... bukan karena dia ...

Berfikir postif dan menanggalkan setiap kecurigaan
Memandang hormat siapapun bukan karena atribut

Memohon kepadaNya tanpa menyegerakan
Mengabdi kepadaNya tanpa imbalan pahala maupun surga

Menerima ketetapanNya tanpa mempertanyakan
Menjalankan perintahNya karena kebutuhan

Memaafkan dan terus melupakan
Melepaskan dan terus mengikhlaskan

Bisakah?

Selasa, 05 Mei 2009

Hampa


Mendengar sunyi
Melihat kosong

Berkata tak bermakna
Bicara tak terdengar

Jenuh
Letih
Kecewa

Jasad tanpa nyawa
Gelap tanpa cahya

Jiwa pergi
Hati membatu

Maafkan
Lepaskan

Jumat, 01 Mei 2009

(Review) : Ajining Diri Soko Lathi, Ajining Sariro Soko Busono


Di tulisan sebelumnya, saya sudah mencoba mengulas filosofi jawa Nglurug tanpo bolo, menang tanpo ngasorake. Di kesempatan ini saya mencoba untuk mereview folosofi jawa yang juga sangat terkenal yaitu "Ajining diri soko lathi, ajining sariro soko busono".
Untuk filosofi ini, saya membahasanya dalam 2 hal yang berbeda dan tersendiri, mengingat keduanya memiliki perspektif yang berbeda.

Ajining diri soko lathi ---> ini diartikan bahwa "setiap orang itu dihargai dan dihormati karena lidahnya" dalam artian bisa menjaga tutur kata dengan senantiasa berbicara benar, dapat dipercaya dan tidak berlebihan.

Sungguh esensi yang terkandung sangat lah dalam. Tentu saja kita tidak bakal mudah percaya dengan omongan orang yang baru kita kenal, apalagi omongan orang yang sudah terbiasa kita tau bahwa dia tukang bohong! lain ceritanya ketika kita mendengar perkataan orang alim yang setiap tutur katanya adalah hikmah dan bijak, maka pastilah kita langsung saja sepakat dan mengiyakannya.

Hal ini ternyata mempunyai korelasi yang positif dengan dogma, dimana ternyata Tuhan pun telah memerintahkan kita untuk menjaga lidah :
- Sabda Rasulullah SAW : "Hati-hatilah kamu dengan ini!" dan Rasul pun menunjuk ke arah lidahnya.
- Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasul pun juga pernah bersabda : "Barang siapa beriman kepada Alloh dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam..."

Dari contoh uraian di atas jelas sekali apa yang "seharusnya" dilakukan oleh lidah pun telah diatur. Jika kita tidak bisa berkata yang baik dan memberi manfaat maka jauh lebih baik bagi kita untuk diam, bukannya malah berbicara yang menghasilkan dosa seperti bergunjing (ghibah) dan obral janji (seperti pemilu 9 April kemarin).
Sesungguhnya yang paling utama bagi kita adalah agar senatiasa mengingat bahwa segala hal dalam diri kita akan dimintai pertanggungjawaban, tak terkecuali lidah, mata, kuping, hati dan yang lain. Seperti firman Tuhan dalam QS AL Isra' 36 :"...Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya".

Berbeda dengan ulasan di atas, "Ajining sariro soko busono" ternyata memiliki perspektif yang 180 derajat berbeda. Dimana untuk yang kedua ini jauh lebih menonjol pencitraan diri yang bersifat duniawi.

Ajining sariro soko busono ---> diartikan bahwa "setiap orang dihargai dan dihormati dari penampilan/atributnya". Busono disini bisa diartikan secara harfiah maupun turunannya. Secara harfiah diartikan "baju/pakaian" dan secara turunan dapat diartikan "atribut/pangkat jabatannya".

Kalo kita melihat dari perspektif duniawi, jelas lah hal ini sangat benar. Dimana orang yang berpakain necis, perlente bisa saja sangat dipadang orang meskipun sebenarnya dia hanyalah seorang penipu. Selayaknya pejabat yang sangat disegani padahal dia hanyalah seorang koruptor. Jadi cenderung membuat kita tertipu dengan kemasan dan penampilan, tanpa melihat ke isinya yang lebih dalam.

Hal ini tentu saja terbalik dengan kenyataan bahwa "harga manusia" di mata Tuhan adalah dilihat dari kualitas takwanya. Sebagaimana firman Alloh : "...Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu..." ( QS. Al Hujurat :13). Senada dengan apa yang sudah saya uraikan dalam tulisan sebelumnya ("Apa yang membuatmu berharga?") bahwa harkat derajat dan penerimaan terhadap diri kita yang hakiki itu bukanlah karena atribut, baju ataupun pangkat kita. Melainkan ke yang lebih dalam di dalam diri kita, yaitu jiwa dan hati.

Tidak ada kata terlambat untuk menjadi lebih baik.
Jagalah lisan kita dan jangan sampai kita terjebak dengan atribut di dunia. Karena atribut hanyalah duniawi, dan dunia adalah kesenangan yang menyengsarakan.